Survei Ungkap Hampir 25% Warga Asia yang Berinternet Berpotensi Punya Kripto

Dilla Fauziyah

14th November, 2025

Sebuah laporan terbaru yang diterbitkan oleh CoinDesk dan Protocol Theory mengungkap bahwa hampir seperempat orang dewasa dengan akses internet di kawasan Asia-Pasifik (APAC) kemungkinan telah memiliki aset kripto.

Menurut laporan CoinDesk pada Jumat (14/11/2025), adopsi kripto di kawasan APAC banyak dipicu oleh keterbatasan layanan keuangan tradisional. Di negara-negara emerging markets, stablecoin bahkan telah digunakan oleh hampir 18% orang dewasa yang memiliki akses internet, menegaskan peran penting aset tersebut sebagai sarana transaksi dan lindung nilai.

Temuan ini berasal dari survei terhadap 4.020 responden di 10 negara, yang hasilnya kemudian diekstrapolasikan ke populasi APAC secara keseluruhan. Survei dilakukan di India, Thailand, Filipina, Korea Selatan, Hong Kong, Singapura, Tiongkok, Australia, Jepang, serta Uni Emirat Arab sebagai pembanding. Masing-masing negara melibatkan sekitar 400 responden berusia 18–64 tahun yang telah mengetahui apa itu kripto.

Baca juga: Jumlah Kripto Legal di Indonesia Berkurang Jadi 1.307 Aset, Cek di Sini

Kegunaan Jadi Faktor Penentu Adopsi Kripto

Meski jumlah pengguna kripto terus meningkat, laporan tersebut menegaskan bahwa kecepatan pertumbuhan adopsi sangat bergantung pada kemudahan penggunaan aset digital dalam aktivitas sehari-hari.

Partisipasi masyarakat kini tidak lagi bertumpu pada spekulasi, melainkan pada kegunaan, integrasi, dan inklusi finansial.

“Laporan APAC Digital Asset Adoption 2025 menemukan bahwa adopsi kini dibentuk oleh aspek usability, integrasi, dan inklusi, bukan lagi spekulasi. Stablecoin, remitansi, dan aset tertokenisasi muncul sebagai fondasi praktis ekonomi digital lintas negara dan perangkat, didukung oleh kerangka regulasi yang mendorong partisipasi,” tulis laporan tersebut.

Selain itu, sekitar 50% responden yang telah mengenal kripto menyatakan minat untuk mulai menggunakannya dalam satu tahun ke depan, meski tingkat pertumbuhan dalam setahun terakhir masih terbatas.

Namun laporan itu juga menyoroti bahwa kemudahan layanan keuangan digital di kawasan APAC, seperti rekening bank digital, remitansi, dan pembayaran tagihan, membuat kebutuhan untuk beralih ke kripto tidak sekuat yang diperkirakan. Proses penggunaan wallet, exchange, dan transfer token dinilai lebih rumit dibanding layanan keuangan mainstream yang sudah mapan.

Baca juga: Transaksi Kripto Indonesia Tembus Rp409,56 Triliun Sepanjang 2025

Regulasi Jadi Pilar Kepercayaan di Negara Berkembang

Kerangka regulasi yang semakin berkembang di berbagai negara dinilai membuka ruang lebih luas bagi pertumbuhan industri aset digital. Lebih dari 70% orang dewasa di negara berkembang, seperti UEA, India, Tiongkok, Filipina, dan Thailand, menilai regulasi sebagai faktor penting dalam membangun kepercayaan dan mendorong partisipasi.

Namun tingkat kepentingan tersebut turun menjadi sekitar 66% di Hong Kong, Australia, dan Singapura, serta merosot hingga di bawah 50% di Jepang.

“Perbedaan ini mencerminkan tingkat kepercayaan pasar yang berbeda. Di negara berkembang, regulasi mengisi kekosongan institusional dan menjadi pengganti kepercayaan, menandakan bahwa partisipasi dalam aset digital adalah sah,” ungkap laporan itu.

Sementara di pasar yang lebih matang, regulasi lebih berfungsi sebagai alat pengelolaan risiko, mengingat perlindungan konsumen yang kuat telah lebih dulu tersedia sehingga kebutuhan akan regulasi tambahan tidak sebesar di negara berkembang.

Baca juga: 3 Tren Kripto Paling Booming di Oktober 2025

Dilla Fauziyah

Dilla mulai menunjukkan minat menulis sejak SMP. Saat ini sedang mendalami bidang jurnalistik dan kripto.

Dilla mulai menunjukkan minat menulis sejak SMP. Saat ini sedang mendalami bidang jurnalistik dan kripto.