Indonesia Masuk 7 Besar Adopsi Kripto Global 2025
8th September, 2025
Indonesia resmi menempati posisi ketujuh dalam adopsi kripto secara global, di tengah meningkatnya kesadaran akan pentingnya aset digital yang kini semakin meluas di berbagai belahan dunia.
Temuan ini berasal dari laporan edisi keenam bertajuk 2025 Global Crypto Adoption Index yang baru saja dirilis oleh Chainalysis. Laporan tersebut mengkaji data on-chain maupun off-chain untuk menentukan negara mana saja yang memimpin dalam adopsi kripto di tingkat akar rumput. Chainalysis juga menyoroti berbagai kasus penggunaan unik aset kripto di tiap negara, serta alasan mengapa masyarakat semakin menerima teknologi ini.
Metodologi indeks ini dibangun dari empat sub-indeks yang mengukur pemanfaatan berbagai jenis layanan kripto. Setiap negara diberi peringkat berdasarkan data penggunaan, dengan mempertimbangkan karakteristik seperti jumlah penduduk dan daya beli. Skor akhir kemudian dihitung melalui rata-rata geometris, lalu dinormalisasi dalam skala 0 hingga 1. Semakin mendekati angka 1, semakin tinggi posisi suatu negara dalam indeks global tersebut.
Dari hasil analisis, Indonesia tercatat menduduki peringkat ketujuh dengan dominasi adopsi di sektor DeFi. Meski masuk dalam tujuh besar, posisi ini menurun dibanding 2024 ketika Indonesia sempat menempati peringkat ketiga berkat popularitas DeFi lokal yang mendorong arus adopsi ritel.
India masih memimpin di posisi pertama dengan penguasaan hampir di seluruh sektor, baik ritel, institusional, platform terpusat, maupun DeFi. Amerika Serikat menyusul di posisi kedua setelah sebelumnya duduk di peringkat empat, sementara Pakistan melesat ke posisi ketiga dari sebelumnya sembilan.
Vietnam kini berada di peringkat keempat, menyalip Indonesia yang tahun lalu sempat unggul. Sementara itu, Filipina menempati posisi sembilan dan Thailand di peringkat 17 dunia. Dengan capaian ini, Indonesia tercatat sebagai negara dengan adopsi kripto terbesar kedua di ASEAN, setelah Vietnam.
Baca juga: Regulasi Kripto Thailand dan Vietnam Kian Ramah, Bagaimana Nasib Indonesia?
Asia Pasifik Pimpin Adopsi Kripto Dunia
Chainalysis menyoroti kawasan Asia Pasifik (APAC) sebagai motor pertumbuhan kripto global. Dalam periode 12 bulan hingga Juni 2025, aktivitas on-chain di APAC tumbuh 69% secara tahunan, dengan volume transaksi naik dari US$1,4 triliun menjadi US$2,36 triliun. Pertumbuhan ini didorong oleh negara-negara utama seperti India, Vietnam, dan Pakistan.
Amerika Latin menyusul dengan pertumbuhan adopsi sebesar 63%, sementara Afrika Sub-Sahara mencatat kenaikan 52%, terutama karena pemanfaatan kripto untuk remitansi dan pembayaran sehari-hari. Angka ini menegaskan pergeseran momentum adopsi kripto ke kawasan Global South, di mana utilitas nyata menjadi faktor pendorong utama.
Dari sisi aset, Bitcoin tetap menjadi primadona global, diikuti oleh token Layer-1 seperti Ethereum. Stablecoin berada di peringkat ketiga, disusul altcoin serta kategori lain seperti token berlikuiditas kecil, meme coin, dan DeFi.
Chainalysis juga menekankan bahwa regulasi stablecoin mengalami perkembangan pesat dalam setahun terakhir. Di Amerika Serikat, GENIUS Act yang belum berlaku penuh sudah mendorong minat institusional, sementara Uni Eropa melalui regulasi MiCA membuka jalan bagi stablecoin euro berlisensi seperti EURC.
Meski begitu, volume transaksi on-chain masih didominasi Tether (USDT) dan USDC. Namun tren pertumbuhan menunjukkan lonjakan signifikan pada stablecoin alternatif seperti EURC, PYUSD, dan DAI. Ekosistem stablecoin juga makin didorong oleh produk dari Stripe, Mastercard, dan Visa yang memungkinkan pembayaran stablecoin melalui jaringan tradisional, hingga integrasi layanan di platform seperti MetaMask, Kraken, dan Crypto.com.
Institusi keuangan besar seperti Citi dan Bank of America bahkan mulai mengeksplorasi peluang untuk meluncurkan stablecoin mereka sendiri.
Baca juga: MetaMask Dikabarkan Siap Luncurkan Stablecoin Sendiri