Wakil Menteri Rusia Sebut 20 Negara Daftar Aliansi BRICS

Anggita Hutami

16th June, 2023

Aliansi BRICS yang terdiri dari Brazil, Russia, India, China, dan South Africa sedang gencar memperluas dominasinya dan melepaskan ketergantungannya terhadap dolar AS.

Dalam forum pertemuan menteri luar negeri negara-negara BRICS Kamis (1/6), Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Ryabkov, mengungkapkan bahwa 20 negara telah mengajukan permohonan untuk bergabung dengan aliansi BRICS.

“Jumlah negara bagian yang ingin bergabung dengan asosiasi ini mendekati 20. Ini mencerminkan peran BRICS yang berkembang dan sudah cukup besar di arena internasional sebagai asosiasi negara-negara dengan posisi serupa,” ungkap Wamenlu Rusia Sergey Ryabkov.

Negara-negara yang ingin menjadi bagian dari BRICS di antaranya adalah Turki, Meksiko, Argentina, Arab Saudi, UEA, Mesir dan Indonesia. Ryabkov tidak menjelaskan daftar negara lainnya lebih lanjut.

Sementara itu, BRICS sempat dikabarkan berencana untuk membuat mata uang kripto sebagai alternatif dari penggunaan dolar AS.

Dalam forum KTT BRICS kesebelas yang diadakan pada November 2019, Kepala Dana Investasi Rusia (RDIF), Kirill Dmitriev pernah mengungkapkan gagasannya untuk menciptakan mata uang kripto.

“Sistem pembayaran BRICS yang efisien dapat mendorong pembayaran dalam mata uang nasional dan memastikan pembayaran dan investasi berkelanjutan di antara negara-negara kita, yang merupakan lebih dari 20% dari arus masuk global investasi asing langsung,” ungkap Dmitriev kepada Reuters.

Baca Juga: Mengenal BRICS dan Pengaruhnya Terhadap Bitcoin

Urgensi Indonesia Bergabung dengan BRICS 

BRICS menjadi salah satu aliansi yang memiliki pengaruh besar terhadap ekonomi global. Negara-negara anggota BRICS memiliki populasi gabungan lebih dari 3,2 miliar orang atau sekitar 40% dari total populasi seluruh orang di dunia.

Namun, BRICS masih dihadapkan dengan berbagai tantangan, salah satunya adalah perang dagang antara China dan Amerika Serikat.

Menurut pandangan periset PARA Syndicate dalam artikel The Conversation, Virdika Rizky Utama, apabila BRICS ingin memperluas keanggotaan, maka muncul tantangan koordinasi dan pengelolaan internal seperti masalah hukum dan politik yang kompleks.

“Contohnya, Iran dengan program nuklirnya yang sangat ditentang AS bisa saja menarik anggota BRICS lainnya ke dalam konflik geopolitik yang lebih besar,”

Virdika menambahkan, contoh kondisi lainnya yaitu Arab Saudi dan Aljazair yang diduga memiliki catatan pelanggaran HAM berpotensi menciptakan ketegangan dengan anggota BRICS lainnya yang memiliki norma dan standar HAM yang berbeda.

Situasi-situasi ini berpotensi merusak reputasi BRICS dan memicu konflik lebih lanjut dengan negara-negara barat. Virdika juga mengungkapkan dua hal yang harus dipertimbangkan oleh Indonesia apabila ingin bergabung dengan BRICS.

Pertama, Indonesia perlu melakukan penilaian menyeluruh terhadap dampak ekonomi-politik yang mungkin timbul, termasuk perbedaan ideologis, kebijakan luar negeri, dan ketidakpastian perpolitikan global.

BRICS memiliki potensi untuk menantang tatanan global yang didominasi oleh Barat. Indonesia memiliki keuntungan karena tidak terlibat dalam konflik dengan negara-negara dari the Global South maupun the Global North.

Kedua, Indonesia perlu memiliki proyeksi yang jelas mengenai manfaat keanggotaan BRICS. Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki potensi untuk memperjuangkan isu-isu penting seperti perdagangan bebas, pembangunan berkelanjutan, kerja sama energi, dan infrastruktur.

Baca Juga: Presidensi G20 2023 India akan Soroti Regulasi Aset Kripto

Anggita Hutami

Menekuni bidang jurnalistik sejak 2017. Fokus pada isu investasi keuangan, ekonomi, dan kebijakan publik.

Menekuni bidang jurnalistik sejak 2017. Fokus pada isu investasi keuangan, ekonomi, dan kebijakan publik.