Pajak Disebut Biang Kerok Anjloknya Transaksi Kripto di Indonesia

Anisa Giovanny

9th November, 2023

Transaksi kripto di Indonesia terus mengalami penurunan. Berdasarkan data dari Bappebti per September 2023, transaksi aset kripto hanya sebesar Rp94,4 triliun.

Angka tersebut turun dibandingkan pada 2022 yang mencatat nilai transaksi sebesar Rp306,4 triliun dan 2021 yang berhasil mencatat nilai transaksi fantastis sebesar Rp859,4 triliun. 

Hasan Fawzi, Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan ITSK, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto (IAKD) OJK, menjelaskan penyebab penurunan ini karena turunnya minat investor dan beban pajak yang dinilai terlalu tinggi. 

“Penyebabnya karena masa puncaknya sudah terlewati, animo turun, sektor rill itu belum bergulir saat pandemi,” katanya saat berbincang dengan media di Bogor, dikutip dari Kumparan, Kamis, 9 November 2023.

Ia menambahkan, “Di sisi lain ada entry barrier pajak, yang sekarang sudah berlaku atau sejak 2022, maksudnya baik bukan untuk membatasi, tapi mengenakan pajak setiap transaksi yang terjadi, cuma ternyata sensitif responnya.”

Diketahui sejak 2022 transaksi kripto di Indonesia dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN). Besaran PPN yang dipungut dan disetor sebesar 1 persen dari tarif PPN umum atau sebesar 0,11 persen.

Sementara itu, bila perdagangan tidak dilakukan pedagang fisik aset kripto, maka besaran PPN yang dipungut dan disetor sebesar 2 persen dari tarif PPN umum atau sebesar 0,22 persen.

Baca juga: Pajak Kripto Indonesia Tembus Rp246 Miliar, Dominasi Pajak Sektor Fintech

Respons Terkait Pajak dari Pelaku Industri

Pelaku industri pun mengamini pandangan Hasan Fawzi dengan menyebut pajak sebagai salah satu faktor turunnya transaksi kripto dalam negeri. 

“Sebagai pelaku exchange, kami sudah menerima keluhan dari pengguna atas penerapan pajak sejak satu tahun lalu. Sehingga hal ini pun mendorong investor aset kripto beralih ke platform exchange di luar negeri, ungkap Robby, Chief Compliance Officer (CCO) Reku sekaligus Ketua Umum Aspakrindo-ABI. 

Menurutnya yang patut menjadi perhatian bersama adalah, platform exchange global yang menjadi sasaran investor kripto belum memiliki lisensi di Indonesia. Ini dapat berdampak negatif bukan hanya bagi pelaku usaha, namun juga investor dan ekosistem kripto secara keseluruhan.

Robby menjelaskan,”Tingginya beban yang ditanggung oleh investor ini mengakibatkan capital outflow yang signifikan atau dikhawatirkan, transaksi tidak lagi terjadi di Indonesia tapi di global. Masyarakat pun juga tidak mendapatkan perlindungan hukum seperti halnya mereka bertransaksi di exchange lokal.”

Pelaku usaha yang tergabung dalam Aspakrindo-ABI berpendapat perlu dan siap dilibatkan untuk melanjutkan diskusi lebih lanjut mengenai pajak dan keberadaan exchange ilegal. 

“Persoalan ini menyangkut banyak pihak, jadi dibutuhkan kolaborasi antar pemangku kepentingan, sehingga tercipta industri yang sehat dan menguntungkan seluruh pelaku di ekosistem aset kripto Indonesia,” pungkas Robby. 

Di sisi lain meski terjadi penurunan transaksi kripto, jumlah investor aset tersebut justru naik. Pada 2021, jumlah investor kripto mencapai 11,2 juta orang, pada 2022 mencapai 16,7 juta orang, serta per September 2023 menjadi 17,9 juta orang.

Baca juga: Bappebti Resmi Dirikan Bursa Kripto Indonesia!

Anisa Giovanny

Anisa tertarik dengan dunia tulis menulis dan copyediting sejak bangku SMA dan diperdalam di dunia perkuliahan. Saat ini tertarik dan tengah mendalami bidang ekonomi terutama terkait investasi dan cryptocurrency

Anisa tertarik dengan dunia tulis menulis dan copyediting sejak bangku SMA dan diperdalam di dunia perkuliahan. Saat ini tertarik dan tengah mendalami bidang ekonomi terutama terkait investasi dan cryptocurrency