CoinShares: Indikator Death Cross Bitcoin Tak Relevan, Justru Jadi Sinyal Beli
9th April, 2025
Analis CoinShares baru-baru ini menyebut indikator teknikal yang dikenal luas sebagai death cross Bitcoin sebagai sesuatu yang “tak masuk akal sema sekali”.
Dalam postingan di X pada Selasa (8/4/2025), Head of Research CoinShares, James Butterfill, mengutip data historis yang menunjukkan bahwa pola ini justru kerap mendahului kenaikan harga bukan penurunan berkepanjangan seperti yang sering diasumsikan.
Sebagai informasi, death cross merupakan sebuah indikator yang menunjukkan harga akan memasuki tren turun. Ini terjadi ketika Moving Average (MA) dengan jangka waktu singkat bergerak turun dan memotong MA dalam jangka waktu lama.
Pernyataan Butterfill muncul sehari setelah death cross terbaru terbentuk pada grafik Bitcoin (BTC), tepatnya pada Senin (7/4/2025), ketika rata-rata pergerakan sederhana (SMA) 50 hari BTC turun ke angka US$86.400 dan menembus ke bawah SMA 200 hari di level US$86.800.

Butterfill melakukan analisis terhadap 11 peristiwa death cross sebelumnya dan menemukan bahwa dalam jangka pendek, yakni satu bulan setelah pola ini muncul, harga BTC memang cenderung mengalami koreksi ringan. Namun, jika dilihat dalam jangka waktu tiga hingga enam bulan, data historis justru menunjukkan tren kenaikan.
Dalam 11 kejadian yang tercatat sejak tahun 2011, rata-rata imbal hasil Bitcoin satu bulan setelah death cross adalah -3,2% dengan median -1,6%. Namun, dalam tiga bulan setelahnya, median berubah menjadi +3,7% dan rata-rata meningkat signifikan menjadi +13,6%. Angka ini makin membaik dalam jangka enam dan dua belas bulan, masing-masing mencatat rata-rata +17,0% dan +52,3%.
Sementara itu, rata-rata imbal hasil tahunan justru negatif di angka -17,2%, menandakan bahwa hasilnya sangat bervariasi antar kejadian. Hal inilah yang membuat indikator ini dianggap tidak konsisten dan sulit diandalkan sebagai alat prediksi.
Baca juga: Apa itu Golden Cross dan Death Cross di Crypto
Contoh Kasus
Beberapa kejadian death cross bahkan diikuti oleh reli harga besar-besaran. Misalnya, pola yang muncul pada Maret 2020 ternyata menjadi titik awal kenaikan harga Bitcoin sebesar 450% dalam satu tahun. Hal serupa juga terjadi pada tahun 2011 dan 2015, yang kemudian memicu lonjakan tiga digit di tahun berikutnya.
Namun, tidak semua death cross berujung manis. Kejadian di tahun 2018 dan 2021 justru diikuti oleh penurunan harga dua digit dalam 12 bulan ke depan. Hal ini membuktikan bahwa sinyal ini tidak punya pola yang konsisten, kadang bullish, kadang bearish.
Melihat data yang tidak konsisten tersebut, Butterfill menyimpulkan bahwa death cross seharusnya tidak dijadikan patokan utama dalam mengambil keputusan investasi. Bahkan, menurutnya, justru sering kali jadi kesempatan emas untuk masuk ke pasar.
“Bagi siapa pun yang menganggap death cross Bitcoin berarti sesuatu, secara empiris itu omong kosong total. Bahkan, sering kali justru merupakan peluang beli yang bagus,” pungkasnya.
Baca juga: Bitcoin Tumbang ke US$74.000 Imbas Tarif 104% AS Terhadap Tiongkok